DALAM perjalanan untuk bangkit menjadi negara maju, kesadaran tentang arti penting penguasaan teknologi sesungguhnya telah ada pada kita.
Berkali-kali kita telah menyatakan bahwa teknologi merupakan salah satu sumber utama peningkatan produktivitas yang pada ujungnya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat. Sedemikian pentingnya teknologi, sampai-sampai ada masa ketika kita ingin melakukan lompatan teknologi dengan memberi prioritas pada pengembangan industri pesawat terbang. Banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan industri yang di pasar dunia ini hanya dikuasai negara atau konsorsium negara-negara maju.
Seiring perjalanan waktu, kita tidak lagi mendengar gegap gempita karya anak bangsa dalam industri ini. Bahkan pernah diberitakan, pabrik pesawat terbang kita justru mengekspor panci. Pesawat terbang mungkin terlalu tinggi untuk dijangkau, maka harapan kita turunkan pada industri mobil. Negara yang mampu membesarkan industri, yang oleh Peter Drucker (1946) disebut sebagai "the industry of the industry", biasanya akan unggul dalam banyak industri lainnya, mengingat kaitan hulu-hilir industri ini sangat tinggi.
Keinginan besar kita tuangkan dalam rangkaian peraturan sejak 1976, seperti peraturan tentang program penanggalan (deletion program), insentif pajak berdasarkan capaian lokalisasi komponen, dan puncaknya pada Inpres Nomor 2/1996 tentang Mobil Nasional (Mobnas). Apa yang terjadi kemudian? Puluhan perusahaan yang berpredikat sebagai ATPM (agen tunggal pemegang merek) ternyata hanya sibuk bersaing sebagai pedagang mobil.
Perusahaan terbesar dalam industri ini, PT Astra Internasional, secara perlahan bahkan dipaksa principal utamanya, Toyota Motor, untuk bergerak di sektor hulu (penjualan, pembiayaan, asuransi, dan layanan purnajual), sementara sektor hilir (rancang bangun dan pabrikasi) tetap dikuasai principal.
Mungkin membuat mobil terlalu berat. Harapan kita turunkan lagi, yaitu pada industri sepeda motor, subsektor industri automotif yang luas pasarnya di Indonesia memadai untuk mencapai produksi pada skala ekonomi yang menguntungkan. Dengan permintaan pasar jutaan unit per tahunnya, pada industri ini kita bisa memperoleh keunggulan yang lebih solid.
Ketika optimisme merebak, penguasaan kita pada industri ini tiba-tiba terlepas saat terjadi krisis ekonomi hebat 1997/1998, karena ATPM yang bergerak pada industri ini satu per satu kembali jatuh ke tangan principalnya. Kita kembali kecewa karena gagal membangun industri domestik yang kuat, seperti yang terjadi di India dan China. Apakah sepeda motor juga terlalu berat bagi kita? Jika demikian, target kita turunkan lagi, yaitu industri sepeda.
Pada industri ini, kita memiliki sejumlah pemain nasional, bahkan ada yang memiliki merek kuat seperti Polygon. Kita butuh waktu untuk membuktikan apakah pada industri ini pun kita harus menuai kegagalan lagi. Akhir-akhir ini banyak kalangan berbicara tentang bangkitnya industri kreatif di Indonesia.
Industri kreatif didefinisikan sebagai: "Industries which have their origin in individual creativity, skill and talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property."
Yang termasuk dalam industri ini antara lain industri entertainment, periklanan dan promosi, penerbitan, kemasan, media, rumah produksi, perangkat lunak, fesyen, dan kerajinan. Data Departemen Perdagangan menunjukkan, industri kreatif memberi kontribusi sekitar 6,3% terhadap GDP nasional. Untuk mendukung kebangkitan lanjut industri ini, baru-baru ini diselenggarakan Pekan Produk Budaya Indonesia (4-8 Juni 2008).
Tidak dimungkiri, geliat industri kreatif memang sangat terasa belakangan ini. Jenis-jenis profesi baru bermunculan, seperti penata panggung, presenter, event organizer, disk jockey, mentalis, penari latar, komedian. Media massa, cetak maupun elektronik, dijejali informasi seputar selebriti. Berbagai ajang pemberian penghargaan untuk berbagai karya, dari film ke iklan, dari fotografi ke musik, dari tata rias ke kontes kecantikan, ada di mana-mana.
Sukses film Ayat-Ayat Cinta merupakan pertanda kebangkitan industri kreatif ini. Persaingan seru pada pentas industri musik, bahkan membuat kita sulit mengingat nama grup-grup pemusik dan lagu yang dibawakannya. Kita juga sulit membedakan secara jelas judul dan isi berbagai sinetron dalam tayangan televisi kita. Siapa yang menduga, bisnis nada dering dan ramal-meramal ala paranormal secara online begitu menjamur seperti sekarang.
Salah satu tantangan terbesar kita adalah merevitalisasi produk-produk budaya lokal agar mampu bersaing dengan hasil kreasi bangsa-bangsa lain. Bayangkan, betapa akan semarak industri batik nasional apabila batik dinyatakan sebagai busana resmi nasional menggantikan jas dalam berbagai acara formal. Betapa luar biasa bila lagu-lagu daerah menjadi bagian paket-paket pertunjukan di mal dan hotel-hotel berbintang.
Bayangkan, betapa menggairahkan menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang bisa dikemas dalam cerita-cerita pendek, berdurasi pendek dengan barisan pendukung acara yang jumlahnya lebih ekonomis, sehingga mampu bersaing dengan pertunjukan solo organ yang sering tampil pada acara pernikahan atau peresmian-peresmian. Betapa semarak apabila musik dangdut dikemas dalam pola pertunjukkan yang bernuansa jazzy dan lebih formal.
Albert Einstein pernah menulis, "imagination is more important than knowledge". Imajinasi merupakan bahan bakar kreativitas. Kreativitas merupakan penggerak utama industri kreatif. Kebinekaan sumber daya dan latar belakang budaya kita merupakan ladang kondusif bertumbuhnya industri ini, karena pengembangan kreativitas tidak hanya membutuhkan lingkungan yang menjamin kebebasan berekspresi, tetapi juga varietas genetika yang beraneka. (*)
Hendrawan Supratikno
Guru Besar FE-UKSW Salatiga
Alumnus Tinbergen Institute, Belanda (//mbs)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment